Diberdayakan oleh Blogger.

Senin, 11 Desember 2000

Kenapa harus keluar dari Zona Nyaman?

Semalam, sewaktu blogwalking, secara tak sengaja aku menemukan inspirasi menarik dari situs Mas Mbilung. Inspirasi itu adalah soal zona nyaman. Ia bercerita tentang keputusan seorang temannya yang pindah dari Jogja ke Jakarta untuk pekerjaan dan masa depan yang mungkin akan lebih baik, dan itu diistilahkannya sebagai keberanian untuk keluar dari zona nyamannya di Jogja untuk bertarung di Jakarta.

Lalu saya berpikir dalam tentang zona nyaman itu sendiri. Apa itu zona nyaman? Kenapa ada zona nyaman dan kenapa pula mesti ditinggalkan?

Delapan tahun silam, zona nyamanku dalam berstudi terusik keadaan finansial keluarga yang tidak memungkinkanku untuk melanjutkan kuliah dengan biaya orang tua. Aku yang semula begitu menikmati hari-hari sebagai mahasiswa muda yang ceria, tiba-tiba harus berubah menjadi seorang pekerja yang bekerja untuk hidup. Pertaruhan untuk bekerjaku waktu itu adalah untuk hidup dan mati, bukan sekadar untuk hidup enak ataupun hidup tak enak, maka aku pun terpaksa meninggalkan zona nyamanku itu tadi. Lalu ketika pekerjaanku mulai menampakkan hasil, aku pun kembali berada pada zona nyaman baru. Aku mulai bisa merasakan betapa uang yang kuhasilkan itu melenakan. Hingga akhirnya enam tahun sesudah itu akhirnya aku tersadar akan satu tantangan yang sebenarnya tak harus aku hadapi. "Berani kamu keluar dari zona nyamanmu untuk sementara waktu menyelesaikan studi yang dulu terbengkalai?"

Lalu aku pun menanggapinya dengan berani! Bekerja sambil kuliah. Sesuatu yang tidak gampang! Aku harus melepas zona nyamanku untuk bersama-sama dengan mahasiswa-mahasiswa lain yang usianya terpaut sepuluh tahun di bawahku untuk sama-sama mendengarkan dosen, yang usianya mungkin hanya terpaut setahun dua tahun di atas dan di bawahku, mengajar di kelas. Aku harus rela menanggalkan idealisme dalam bekerja dan bertarung dengan jeratan-jeratan teori yang menurutku justru terkadang lebih banyak menghambat pola kerja ketimbang memperbaikinya.

Itulah zona nyaman! itulah perjuangan untuk selalu mencapainya. Hidup manusia selalu memiliki tujuan untuk satu rasa yaitu kenyamanan. Apapun yang ia pertaruhkan, usahakan dan korbankan, semuanya tak lebih dari sekadar demi rasa nyaman yang lebih nyaman.

Adapun rasa nyaman itu sendiri sejatinya adalah puncak yang tak pernah bisa kita ketahui dimana titik tertingginya. Ketika kita berada di satu puncak, zona nyaman A, maka kita akan merasa dan memandang bahwa barangkali di puncak B ada zona nyaman yang lebih "melenakan" ketimbang di sini. Oleh karenanya, kita pun memiliki kecenderungan untuk selalu bergerak dan berdinamika. Tak jarang kita melakukan satu hal yang mungkin dinilai terlalu buruk dan gegabah, namun jelas dalam benak kita sendirilah yang tahu bahwa tak ada satupun yang lebih baik ketimbang kita harus selalu berjuang untuk satu tingkat nyaman yang lebih tinggi dan lebih tinggi lagi.

Tapi kenapa kita mesti meninggalkan zona nyaman itu? Saya tiba-tiba berpikir tentang seorang petualang yang kutemui sedang sama-sama jadi pasien tukang pijat refleksiku, beberapa waktu lalu. Puluhan gunung telah didakinya, "Apalagi di pulau Jawa, Mas! Semua sudah saya jejaki puncaknya!" demikian katanya sembari menerawang.

Lalu saya pun bertanya balik padanya "Bagaimana Anda menjejakinya? Penuh perjuangan?"

"Oh jelas! Melawan dinginnya malam dan ganasnya binatang-binatang hutan! Maut yang selalu mengintai dan kita harus bertahan!"

"Kalau demikian, ketika Anda sampai di puncak, kenapa harus turun kembali?"

"Ya!... Ya, apa ya... ya karena saya harus pulang untuk mempersiapkan puncak gunung yang lainnya?!"

"Kenapa Anda tidak tinggal di puncak saja dan menghabiskan hidup di sana, kan Anda sudah berjuang keras untuk mencapainya?"
Lalu petualang itu pun terdiam, tak memiliki alasan lain selain mengulang dan mengulang jawaban yang telah ia berikan hingga aku bosan mendengarkannya.


Ada tiga kata yang bisa dikatakan menjadi tiang penyangga dari persoalan ini, yaitu pengorbanan, ketidakpuasan serta harapan. Perasaan dimana kita telah merasakan segala daya upaya serta perasaan betapa nyamannya puncak yang kita capai, dan itulah yang jadi korbannya demi puncak yang lebih tinggi. Dengan kata lain, kita cenderung untuk mengorbankan apa yang telah kita punya untuk zona yang lainnya.

Lantas kenapa kita rela mengorbankan sesuatu yang telah kita capai? Tak lain karena warisan sifat tidak puas yang selalu menempel pada jiwa kita sesedikit apapun kadarnya. Dan yang terakhir, mari kita bicara soal harapan.


Ketika kita berharap bahwa matahari masih bersinar esok hari, disitulah harapan selalu menang terhadap keterpurukan, kesuraman. Harapan bahwa di depan sana pasti ada satu zona nyaman yang lebih nyaman ketimbang apa yang baru saja kita tinggalkan, itulah tiang ketiga dari persoalan ini. Dan siklus tersebut tampaknya akan selalu terjadi berulang-ulang selama makhluk yang namanya manusia ini masih bisa menjejakkan kakinya di puncak-puncak kejayaan di dunia ini.


Kita memang selalu hidup, berubah dan bergerak.
Kita ini penggerak air di lautan, yang menyebabkan gelombang dan irama air yang menakjubkan demi sebuah kehidupan yang akan senantiasa lebih baik dan nyaman. Jadi, kalian! Untuk apa semua ini kalau tidak berani menanggalkan satu zona nyaman ke zona nyaman yang baru demi satu kehidupan baru yang lebih berarti?

Ditulis Oleh : Harri // 14.18
Kategori:

0 komentar:

Posting Komentar