Diberdayakan oleh Blogger.

Jumat, 17 Juni 2011

Perampok !!

Mau tahu kenapa dinegeri ini banyak perampok, baik perampok jalanan maupun berdasi?? Yuk kita baca parodi ini agar kita tidak ikut-ikutan jadi perampok..

Suatu Minggu, saya dibuat bingung dengan kata "sederhana". Di suatu siang, akhir pekan empat minggu lalu, saya baru tahu bahwa arti sederhana itu bukan seperti yang saya bayangkan.

Begini ceritanya. Teman saya sepasang suami-istri yang berhati mulia mengantar saya jalan-jalan dan menunjukkan saya secara nyata yang namanya rusunami. Anda tahu? Saya beri tahu, karena saya awalnya juga enggak tahu, kemudian saya tanya kepada teman saya dan suaminya menjelaskan.

Jadi, jahat sekali kalau saya diberi tahu lalu menyuruh Anda mencari sendiri. Itu enggak baik. Itu sama dengan kalau Tuhan sudah mengampuni Anda, Anda juga harus mengampuni. Siapa pun itu. Rusunami itu singkatan dari ”rumah susun sederhana milik”.

Kami tiba di tempat parkir kantor pemasaran yang sama sekali jauh dari sederhana. Ketidaksederhanaan itu makin terlihat saat suami teman saya lirak-lirik kegerahan melihat wanita muda dengan busana terbuka warna semburat warna oranye dengan menenteng tas Hermes berbahan kulit buaya.

Menjadi perampok

Saya bertanya mau ngapain perempuan itu ke tempat sesederhana yang sama sekali tak mencerminkan gaya hidupnya? Lha wong tasnya saja kalau dijual itu bisa mendapat dua unit dengan total luas enam puluh meter persegi. Itu baru pemandangan di tempat parkir. Belum apa-apa.

Saya lalu masuk ke kantor pemasaran itu dan dibuat kaget dengan ”sejuta” manusia di dalamnya yang seperti sedang berada di Stasiun Gambir.

Teman saya yang wanita nyeletuk, ”Bo… ini mah enggak ada apa-apanya. Ini sepi. Dua tahun lalu waktu gue beli, lebih gila lagi.”

Kemudian saya teringat akan manusia yang membanjiri apartemen pertama di kawasan Kuningan beberapa tahun lalu. Pembeli memborong empat unit, sepuluh unit. Benar-benar mirip membeli bakpao di daerah Pluit yang kondang itu.

Tak ada yang sederhana, nyaris tak ada. Kalau bentuk fisik dan cara berpakaian yaa… gitu deh. Tetapi, ketika saya ditunjukkan unit-unit yang masih tersisa, saya kaget setengah mati. Seorang pria penjual mengatakan. ”Yang itu habis, yang ini habis.” Siapakah yang membeli? Manusia tidak sederhana itu, termasuk saya yang mulai tergoda melihat harga dan sistem pembayarannya yang yuk ya banget.

Kemudian setan masuk dalam bentuk pemikiran positif. ”Lo harus beli mumpung ada duit. Investasi penting. Lo kan enggak tahu kalau ada apa-apa di masa depan. Rumah bisa jadi penolong. Harganya naik, enggak kayak barang bermerek lo itu.”

Si setan masih melanjutkan lagi. ”Siapa tahu lo kawin. Laki-laki yang enggak bisa nyediain rumah buat calon istrinya, itu yang disebut banci.” Masih si setan yang nyerocos, ”Eh... maaf ya kalau tersinggung. Kan manusia bisa berubah. Dari bencong jadi kewong.” Kewong itu kawin, maksudnya.

Saya geleng kepala. Sering kali saya marah dirampok, mengutuk mereka yang merampas hak saya dan terkaget-kaget membaca banyak perampok di majalah, koran, dan situs. Tetapi, sering kali lupa, saya ini perampok sesungguhnya. Kenapa saya tak pernah kaget dengan diri sendiri? Ada dua jawabannya.

Pertama, saya tak pernah sadar saya ini perampok. Namanya juga tak sadar, yaa… bagaimana mau merasa dirinya perampok, bukan? Kedua, karena kebiasaan merampok saya merasa itu bukan merampok. Sama dengan kalau sering kali berbuat dosa, lama-lama tak tahu lagi bedanya dosa sama tak dosa. Terus malah bisa bilang begini, ”Emang dosa?” atau ”Dosa? Apaan, tuh.” Maka, benarlah kalau latihan terus dilakukan lama-lama membuat kita mahir. Mahir maling, mahir tidak maling, maksudnya.

Bercita-cita jadi sederhana

Sampai di rumah saya merenungkan soal sederhana itu, bukan soal merampas hak orang. Karena merampas adalah aksi yang salah satunya diakibatkan karena kita tidak merasa sederhana. Jadi, yang penting akar penyakitnya dulu yang harus dibahas. Itu menurut saya.

Saya datang dari keluarga sederhana. Sangat biasa sekali, tak bisa dikelompokkan sebagai keluarga kaya raya atau yang memiliki riwayat seperti keluarga-keluarga kaya di negeri ini. Anehnya, saya diajarkan sederhana, kok ya... sama sekali tak bisa sederhana. Sejak kecil saya menyukai hal-hal mewah yang berkualitas yang tak pernah tergapai aset ayah saya.

Kalau Anda masih ingat artikel pertama saya di koran terbesar ini, ayah saya mencak-mencak gara-gara saya meminta oleh-oleh tas bermerek yang mengagetkan matanya dan membuat cash flow-nya nyaris berdarah.

Singkat cerita sampai dewasa keinginan menjadi sederhana itu sulitnya setengah mati. Pekerjaan saya membuat jadi sederhana bertambah sulit. Kehidupan gemerlap dunia mode menyengsarakan saya. Itu mengapa kemudian saya menjadi perampok. Karena ketidakmampuan hidup dalam kesederhanaan. Tidak mampu karena latar belakang dan tidak mampu setelah menjadi profesional.

Bayangkan, pada usia nyaris setengah abad saya tak punya stasiun televisi, saya tak punya kekayaan seperti pengusaha muda yang baru saya baca masuk menjadi salah satu orang terkaya di Asia. Suatu pagi saya menyaksikan acara Mbak Oprah, pagi itu ia membahas lengsernya perancang kondang Valentino. Di salah satu segmennya, sang perancang mengatakan demikian. Intinya saja, kalimat lengkapnya saya lupa. ”Saya menyukai keindahan dan itu bukan salah saya.”

Kemudian saya tersenyum. Saya juga suka keindahan, hanya saja saya tak mampu memiliki keindahan seperti yang dimiliki Valentino. Rumah mewahnya, kapal pesiarnya, jet pribadinya. Hal-hal macam itulah yang membuat saya selalu berniat merampas.

(Samuel Mulia)

Parodi yang menggelitik ditengah banyaknya "perampok" di negeri ini. Parodi ini saya ambil dr koran Kompas beberapa bulan yang lalu dengan judul asli "Sederhana".

Mari kita berefleksi melaui parodi ini. Jangan-jangan tanpa kita sadari kita juga bagian dari para "perampok" itu?? wekekeke...

Ditulis Oleh : Harri // 19.01
Kategori:

0 komentar:

Posting Komentar