Diberdayakan oleh Blogger.

Jumat, 05 Oktober 2012

Marah, Kurus, Sakit, Mati


Parodi dari Prie GS ini menurutku sangat tepat dengan situasi saat ini, dengan hiruk pikuknya kasus "Simsalabim simulator SIM" yang menyebabkan rebutan kasus antara Polri dan KPK, dengan dibumbui gaya kepemimpinan yang tidak mau repot dengan alasan "tidak boleh campur tangan" plus gaya mencak-mencak yang terhormat anggota DPR karena merasa kehormatannya terampas akibat jarinya harus menyentuh finger print untuk absensi - "Emangnya gue buruh pabrik?", hahaha...  
Marilah dengan caramu masing-masing - misalnya: membaca koran dengan cara terbalik hehehe... - pastikan membaca koran (menjadi) bangga, menonton televisi (menjadi) tertawa, bekerja mejadi bahagia, di jalanan selalu gembira... Selalulah tertawa - hahahaha....

Marah, Kurus, Sakit, Mati

Di sebuah negara dengan hukum yang tidak berdaulat inilah yang terjadi: membaca koran (menjadi) marah, menonton televisi (menjadi) marah, bekerja (menjadi) marah, di jalanan (menjadi) marah, di rumah (menjadi) marah. Setiap hari warga negara ini menabung kemarahan dan akhirnya sakit, kurus lalu mati. Jika hidup hanya menarik untuk ditinggal mati, maka dalam menjalani hidup pun jadi tak menarik lagi.


Sebuah riset mengatakan negara terkaya adalah Amerika (riset yang lain Qatar) sementara sebuah yang riset lainnya mengatakan negara terbahagia adalah Denmark. Jika riset ini benar, maka muncullah fakta berikut: yang terkaya, ternyata bukan yang terbahagia. Definisi kekayaan di riset pertama itu berdasarkan seberapa besar pendapatan warga negara, sementara riset kedua lebih berdasarkan seberapa besar perasaan puas warga negara kepada negaranya. Di dalam daftar negara terbahagia, Amerika berada di ranking 11, di luar sepuluh besar.

Apa yang membuat warga negara bisa demikian puas kepada negaranya? Ada beberapa indikasi dan yang paling menonjol dari itu semua adalah perasaan puas pada kedaulatan hukum mereka. Indikator lain adalah kadar air mereka yang bersih, polutan yang rendah dan keseimbangan antara konsumsi dan produksi. Tegasnya warga negara bahagia itu rajin dalam bekerja, tetapi juga punya waktu berekreasi. Indikasi penting lainnya, harapan hidup mereka rata-rata tinggi, hampir di atas 80 tahun.

Di mana kedudukan Indonesia dalam daftar itu? Di angka 127 (semoga riset ini salah). Jika sumber kebahagiaan warga itu jelas, maka sumber ketidak bahagiaan warga juga jadi jelas. Jika kebahagiaan itu bisa datang dari rasa puas pada kedaulatan hukum, pada kebersihan air dan udara, dan pada keseimbangan antara konsumsi dan produksi, maka ketidakbahagiaan pasti bisa datang dari jurusan sebaliknya: hukum yang gagal berdaulat, air kotor, udara kotor, dan konsumsi tinggi tapi produksi rendah. Hasilnya, harapan hidup rata-rata manusia Indonesia juga dianggap masih rendah. Kalau tidak salah angkanya berkisar antara 55-60 tahun.

Saya menduga, dari seluruh indikator itu, pasti ada indikator baku. Dari setiap ujung, selalu memiliki pangkal. Dan pilihan saya jatuh kepada kedaulatan hukum sebagai pangkal dari semua persoalan. Hukum yang berdaulat itulah yang membuat air menjadi bersih, udara menjadi bersih, pekerja menjadi tenang, dan rekreasi menjadi mungkin dan kehidupan menjadi panjang. Di sebuah negara dengan hukum yang tidak berdauat inilah yang tejadi: membaca koran marah, menonton televisi marah, bekerja marah, di jalanan marah, di rumah marah. Setiap hari warga negara ini menabung kemarahan dan akhirnya sakit, kurus lalu mati.

Jika hidup hanya menarik untuk ditinggal mati, maka dalam menjalani hidup pun jadi tak menarik lagi. Akhirnya sudah miskin mabuk pula. Hasil dari mabuk itu lalu melebar ke mana-mana, membacok orang hanya untuk merampas HP-nya, baku bunuh hanya karena saling pelotot di keramaian. Di dalam keadaan yang tak bahagia, keramaian sebuah tontonan tak lagi menjadi perayaan melainkan telah berubah menjadi ajang keributan yang berbahaya. Orang-orang yang tak bahagia cenderung menghargai rendah hidupnya sendiri dengan cara merendahkan hidup sesamanya. Jika benar, bahwa kebahagiaan seseorang tak cuma ditentukan oleh kualitas pribadinya, tetapi juga kualitas negaranya, betapa berat tanggung jawab seorang pemimpin yang gagal membahagiakan negaranya.

Ditulis Oleh : Harri // 06.13
Kategori:

0 komentar:

Posting Komentar