Diberdayakan oleh Blogger.

Selasa, 23 Februari 2016

Hidup Sederhana

Beberapa orang bertanya pada saya, bagaimana mengajarkan hidup sederhana pada anak? Caranya sederhana, hiduplah secara sederhana, dan biasakan mereka untuk hidup dalam kesederhanaan. Tapi apa itu sederhana?

Membicarakan hidup sederhana adalah sesuatu yang tidak sederhana, karena pengertian sederhana itu sangat relatif dan variatif. Dalam kamus kata “sederhana” dimaknai sebagai sesuatu yang sedang (wajar), tidak berlebihan. Sederhana sering dilawankan dengan kata mewah. Sedangkan mewah sering dikonotasikan mahal. Maka tidak jarang sederhana sering pula dimaknai sebagai sesuatu yang murah, atau bahkan miskin.

Bagi saya kesederhanaan itu adalah menempatkan segala sesuatu pada nilai intrinsik atau fundamentalnya, bukan nilai jual-belinya, atau nilai psikologisnya. Rumah adalah tempat tinggal. Dalam pandangan sederhana rumah dinilai dari kenyamanan orang yang tinggal di dalamnya dalam pengertian yang menyeluruh, meliputi kebutuhan ruang, kenyamanan lingkungan, serta mendukung aktivitas kehidupan. Desainnya dibuat memenuhi standar kenyamanan serta selera estetika penghuninya. Rumah tidak lagi sederhana bila sudah melibatkan status sosial, trend, kebanggan (pride), dan sebagainya.

Hal yang sama berlaku untuk pakaian. Mengapa kita membeli dan memakai sesuatu? Karena ia mencukupi kebutuhan kita, dan kita merasa nyaman memakainya. Itu alasan intrinsik. Tapi bila kita memakai sesuatu untuk membangun sebuah citra, atau mengikuti trend, itu sudah di luar wilayah intrinsik tadi. Ini berlaku untuk semua hal, seperti kendaraan, makanan/tempat makan, tujuan wisata, dan sebagainya.

Kita sering kali lupa pada nilai-nilai intrinsik, dan terlalu fokus pada nilai jual-beli, bahkan nilai psikologis. Kita makan di restoran bukan karena menyukai rasa makanannya, tapi karena citra restoran itu adalah restoran mahal. Kita ingin meyakinkan diri bahwa kita kaya, dan ingin memamerkannya. Kita pergi berwisata bukan untuk membangun keakraban bersama keluarga, tapi untuk mengumpulkan foto-foto di tempat hebat untuk kita pajang di rumah atau media sosial.

Motif yang menggerakkan kita untuk mendapatkan sesuatu bukan lagi berasal dari kebutuhan dasar, melainkan pada tingkat yang lain, seperti mendapatkan pengakuan. Itu yang membuat kita tak lagi berhitung soal pengeluaran saat menginginkan sesuatu. Tak jarang kemudian kita melampaui batas kemampuan kita sendiri. Pada saat itu kita sudah tidak lagi sederhana.

Jadi, untuk hidup sederhana cukup kita kembalikan pilihan kita pada nilai-nilai intrinsik tadi. Anak-anak tak lain adalah peniru kita. Bila kita terbiasa mengejar hal-hal yang intrinsik, maka mereka akan merasakannya. Sebaliknya, bila kita memandang hebat hal-hal yang tidak intrinsik, maka mereka pun akan bersikap sama.

Mari perkenalkan anak-anak kita dengan benda/materi berbasis pada nilai intrinsik. Beri mereka mainan sambil memperkenalkan kenikmatan bermain, bukan sekedar kenikmatan memiliki. Beri mereka pakaian yang membuat nyaman, bukan untuk menyatakan di kelas sosial mana kita berada. Ajak mereka berwisata agar mereka bisa belajar dan menikmati kebersamaan, bukan agar bisa berbangga. Ajak mereka makan untuk mengenal rasa dan kebersamaan, bukan untuk menjadi pongah.

Satu hal yang perlu dicatat bahwa sederhana tidak selalu murah, dan yang mahal tidak selalu mewah. Makan di hotel berbintang boleh jadi mahal, tapi tetap menjadi hal yang sederhana bila dari kegiatan itu kita bisa mengenal rasa baru, suasana nyaman, dan sebagainya. Tentu saja dengan syarat lain yang lebih penting, yaitu kita memang mampu membayarnya. Sebaliknya, pergi haji bagi orang-orang kampung yang perlu menabung seumur hidup itu pasti sesuatu yang mahal, bukan? Tapi apakah itu sebuah kemewahan? Bukan. Itu sekedar sebuah pemenuhan kebutuhan. (http://abdurakhman.com/)

Ditulis Oleh : Harri // 06.31
Kategori:

0 komentar:

Posting Komentar