Diberdayakan oleh Blogger.

Kamis, 08 Januari 2009

Sore yang Sunyi di Timor Leste

Di kampung Culuoan, Zumalai, distrik Suai, Timor Leste, ditahun 1992 kujalani masa remajaku disana. Kampung Culuoan berlokasi skitar 5 km dari garis pantai laut timor. Itulah kenapa kampung ini diberi nama "Culuoan" yang dalam bahasa Tetum berarti anak terakhir. Hmmm… ada banyak kenangan disini. Ketika kujalani malam-malam awal aku disana, aku sering terbangun dari tidurku. Disaat tengah malam yang gelap gulita karena listrik belum menjangkau kampung ini, sering kudengar suara orang berlari dengan sepatu boot, terkadang sayup-sayup kudengar "doorrrrr.....!!"  

Suara tembakan disela-sela suara deburan ombak nun jauh... Entah apa yang terjadi diluar sana. Mungkinkah Tentara yang sedang berkejaran dengan gerilyawan??? Ataukah pemburu yang sedang memburu rusa...?? ataukah suara jiwa-jiwa gentayangan dari korban konflik?? Aku tak berani bertanya pada ayahku. Kembali kubenarkan selimutku dan kumiringkan tubuhku ketika suara itu mengusikku.. biarlah yang terjadi diluar sana menjadi bagian dari cerita.


Sore itu aku mendengar anak tetangga depan blok rumahku kesurupan. Kudengar disiang harinya bermain bola dari kepala tengkorak manusia yang ia temukan di gundukan pinggir jalan. Ahhh, bikin takut saja!! Tapi ya begitulah adanya. Kepala tengkorak itu terpisah jauh dari tulang-tulang badan dan kakinya. Siapa dia?? Aku tak tahu. Kubayangkan ada tragedi berdarah disana dimasa lalu. Kenapa tulang tengkorak itu terpisah begitu jauh?? Apakah binatang hutan yang tega mencabik dan menggondolnya?? Mungkin itu yang terjadi. Mungkin juga makluk lain yang lebih punya angkara.


Sore itu ayahku menaruh kain kecil, telur busuk, lipatan daun lontar dan tembakau dipojok kebun semangka dibelakang rumahku. Aku termangu melihatnya.. "Untuk mengusir roh jahat ya pak??" tanyaku. Dengan tersenyum, ia menjelaskan untuk menakut-nakuti saja. Aku tidak mengerti, menakuti hantukah?? Menakuti binatang liarkah?? Yang pasti semenjak itu tidak ada lagi buah semangka yang diambil oleh pencuri.
Sore itu kami berempat, aku dan teman sekolahku pulang malam dari sekolahku di SMP Zumalai yang bejarak 15 km dari rumah karena mengikuti les pramuka. Kami sering berangkat dan pulang bersama dengan mengayuh sepeda onthel. Tutik, temanku perempuan satu-satunya sedikit gemetar ketika kami akan mulai berangkat pulang, ia takut kalau-kalau nanti dihadang GPK. "Ada yang bisa??" dengan wajah serius Pak Polisi menawari kami untuk membawa pistolnya... ahh, mana mungkin pak!! Kami berempat nekat pulang, takut orang tua kami mencari. Saat itu belum ada barang ajaib yang namanya handphone maupun telepon. Dikegelapan jalan, sambil menuntun sepeda onthel kami beriring-irngingan pulang sambil komat-kamit berdoa Bapa Kami dan Salam Maria dalam hati... Kami lega, melihat tugu selamat datang, tugu kenangan buatan mahasiswa Unika Soegiyapranata Semarang yang Kuliah Kerja Nyata disana. Tanda tidak lama lagi kami tiba dirumah..


Sore itu... ayah ibuku bercerita. Mereka mengungsi ketika konflik mulai membara. Dengan tertatih, mereka menuruni tangga darurat untuk kemudian menyebrang sungai lomea. Jembatan disungai itu telah dirusak orang. Di gereja Suai semua orang berlindung dari tajamnya peluru. Gereja yang telah kehilangan pastur paroki yang bernama Pastur Hilario. (Belakangan dari berita TV, mayat pastur Hilario ditemukan di daerah Timor Tengah Selatan, NTT. Siapa yang menculik dan membunuhnya??). Tiba-tiba semua orang ribut, berlari kesana kemari layaknya beras yang diinteri. Ada isu gereja akan diserang, entah oleh gerilyawan, entah oleh TNI yang mengejar gerilyawan. Ditengah kekalutan itu ibu jatuh sakit dan dilarikan ke rumah sakit satu-satunya di Suai. Tak terasa aku menitikkan airmata ketika mendengar cerita itu..Ayahku nekat pulang untuk mengambil barang-barang keperluan selama di pengungsian. Dengan caping dan tenggok, ayahku berangkat pulang, ia terkadang menutupi wajahnya agar tidak celaka karena terlihat wajahnya yang khas orang jawa... Sesampai di Culuoan, hanya suara lenguh sapi yang terdengar, sepi karena semuanya pergi... tak ada suara bocah tertawa. Culuoan menjadi kampung mati, sunyi.


Sore itu.... Ayahku membuat lubang dibelakang rumah. Diatasnya ditutupi tanah.. bunker sederhana untuk sembunyi katanya. Masing-masing keluarga dimintai sumbangan oleh GPK (Gerakan Pengacau Keamanan; Tentara Fretelin, red). Ada beras, uang, pakaian atau apapun itu. Masing-masing diberi kartu anggota oleh GPK. Agar aman dari gangguan katanya

Sore itu... ayah ibuku bercerita, Keluargaku akhirnya pulang ke Jawa... di Kapal dobonsolo, ayahku terkena penyakit malaria... aku tak suanggup untuk membayangkanya. Adik angkatku hanya longak-longok tidak tahu apa yang harus diperbuat. Akhirnya setelah berada 6 hari dikapal, sampai juga di Jawa. Tanah lahir orangtuaku dan aku. Dibelakang sana, tetanggaku dulu di timor-timur bercerita. Ia melihat sebuah truk sedang menyentorkan bangkai mayat orang dipinggir sungai perbatasan Betun dan Suai. Sungguh tragedi yang mengerikan...

Pohon pinus, lontar, alang-alang, ayam hutan, kakatua, kuskus, lengkeng hutan yang asin rasanya.. penyu, rusa. Mereka semua bagian dari saksi. Tentang sore yang sunyi di Timor Timur, sore yang sunyi di Timor Leste.

Harri, 9 Januari 2009

Ditulis Oleh : Harri // 16.45
Kategori:

0 komentar:

Posting Komentar