Diberdayakan oleh Blogger.

Kamis, 25 Maret 2010

Saksi Kebenaran

Ketika anda jalan-jalan ke Mall di Simpang Lima, dan didepan anda tangan jahil pencopet berusaha membuka tas dan mengambil HP, apa yang anda lakukan?


Dalam peristiwa kehidupan sehari-hari, kita sering dihadapkan pada pilihan sikap: 
1. Mengabaikan dan tidak mempedulikan, 
2. Diam dan tidak melakukan apapun, 
3. Menjadi pengamat atau saksi, 
4. Melakukan tindakan benar, 
5. Melakukan tindakan benar dan menjadi saksi atas kebenaran.

Pada saat ini dimana dunia kita begitu sibuk dengan “banting-tulang” memenuhi kebutuhan kita, tawaran 1 dan tawaran 2 adalah pilihan favorit. Tawaran 3 dan 4 adalah pilihan optional. Tawaran itu sering kita pilih ketika peristiwa itu bersinggungan dengan kepentingan kita seperti kepentingan untuk dihargai, dicintai, dilibatkan. Pemenuhan kebutuhan jasmani dan rohani diri sendiri adalah hal yang prioritas. Bagaimana kita memenuhi orang lain kalau kepenuhan diri sendiri saja belum tercukupi?? Yub setuju sekali dengan pendapat ini. Tetapi kalau sekali lagi kita renungkan lebih dalam lagi pendapat ini, lubuk hati kita akan menjawab “saya tidak setuju!”. Tawaran 5 yaitu melakukan tindakan benar dan menjadi saksi atas kebenaran adalah pilihan yang tidak populer alias tidak menarik sama sekali. Dalam dunia hukum di Indonesia, melakukan tindakan kebenaran dan menjadi saksi atas kebenaran adalah hal yang merepotkan bahkan ada yang cenderung merugikan. Kita ingat dijaman orde baru dulu, saksi-saksi kebenaran (aktivis) ada yang diancam jiwanya, diculik bahkan hilang nyawanya. Di kehidupan sehari-haripun menjadi saksi kebenaran adalah pilihan yang tidak mengenakkan. Takut dicap sebagai “sok suci dan sok alim” sering menjadi bayang-bayang. Saya menulis artikel inipun juga dibayangi hal itu, “ jangan-jangan orang dimilis ini akan mencap aku sebagai “sok pinter, sok jadi pengkotbah. Padahal diri sendiri saja amburadul..”. Ketika saya menulis presentasi untuk Week End Choice dulu, ada perasaan takut pengalaman hidupku dikonsumsi banyak orang, perasaan takut menjadi bahan gunjingan orang dan lain sebagainya. Itu hanya contoh-contoh kecil saja dimana dampak merugikan diri akibat menjadi saksi kebenaran yang dilakukan, begitu kecil. Teman-teman pasti punya pengalaman tentang hal ini yang lebih besar lagi dan lebih menarik lagi dari pengalamanku. Terus apa kira-kira yang mendorong kita berani melakukan tindakan “menjadi saksi kebenaran” dan berani menanggung resiko itu? Teman-teman bisa share disini.

Pada masa menjelang Paskah ini, tawaran ke 5 bisa menjadi refleksi bagi diri kita. Bukankah Tuhan Yesus menjadi “tersalib” karena memilih tawaran nomor 5 ini?? Kenapa Tuhan Yesus tidak memilih tawaran yang nomor 3 atau 4 saja sehingga Ia bisa tetap melanjutkan hidupnya bersama Santo Yusuf dan Bunda Maria, kemudian hidup berkeluarga bersama pasangannya dan bahagia bercanda bersama anak-anaknya yang lucu??

Ia telah memilih melakukan kebenaran dan menjadi saksi atas kebenaran. Iapun telah menanggung beban yang begitu berat agar kita hidup dalam kebenaran. Ia sudah menjadikanNya Jalan Kebenaran dan Keselamatan. Semoga kita selalu bisa menyusuri jalan yang disediakanNya itu yaitu jalan kebenaran kehidupan.

Pertanyaan untuk kita: beranikah kita memilih tawaran nomor 5? Kalo kita masing-masing berani mengambil tawaran tersebut pasti akan semakin banyak orang kembali menyusuri jalan kebenaran yang disediakanNya, pasti kita yang sedang menyusurinya juga saling dikuatkan.

Selamat menjelang Paskah… Tuhan Yesus selalu bersamamu dlm menyusuri perziarahan ini..

Salatiga, 26 Maret 2010
Harri & Ariani

 

Ditulis Oleh : Harri // 19.01
Kategori:

0 komentar:

Posting Komentar